Foto/Sukriansyah S Latief    

"Indonesia,  mungkin mesti belajar banyak dari Afrika Selatan. Setidaknya dalam bidang pariwisata. Meski negara ini berada pada lingkaran ‘top ten’ atau berada di urutan 9 dari 10 negara yang tingkat kriminalitas tertinggi di dunia, Afrika Selatan mampu menggaet wisatawan hingga 14-15 juta per tahun. Ini menempatkannya pada peringkat ke-3 dunia sebagai negara penerima wisatawan. Berikut ini, Wartawan senior Sukriansyah S Latief menuliskan perjalanan jurnalistiknya di negara yang pernah terbelit politik Apartheid ini. (-red)"

Laporan Sukriansyah S. Latief dari Pretoria, Afsel

JAUH-JAUH hari sebelum menginjakkan kaki ke Afrika Selatan, sejumlah teman mengingatkan saya untuk berhati-hati. Bahkan Dr Robert Evans, Co-Executif Director, Plowshares Institute, mengingatkan kami para peserta workshop Human Rights, Demokracy, dan Conflict Transformation, untuk ekstra waspada bila berada di Afrika Selatan. Tiba di Bandara Johannesburg pagi hari di akhir November lalu, saya merasakan pentingnya peringatan itu.

Beberapa barang bawaan penumpang disita petugas imigrasi setelah anjing pelacak menemukan barang larangan. Bahkan ada penumpang yang harus ikut dengan petugas. Seorang peserta bersama kami yang membawa abon, juga harus berurusan dengan pihak imigrasi, dan abon itupun disita.

‘’Saya tidak tahu abon itu dilarang dibawa ke sini,’ kata Rosdah, yang asal Sulsel juga. Sepanjang perjalanan dari bandara ke Koinonia House, tempat kami menginap, sebagian besar rumah dilengkapi dengan alat penyengat listrik di pagarnya. Rumah-rumah dengar pagar yang tinggi atau tembok yang tinggi, kebanyakan membuat tulisan peringatan ‘Armed Response’.

Foto/Sukriansyah S Latief   

Itu artinya, rumah tersebut pada jam-jam tertentu dialiri listrik dipagarnya. Maka, jangan coba-coba mendekat apabila malam telah larut, bila Ada tak mau hangus disengat listrik. Begitu menakutkankah tinggal di Afrika Selatan? Saya tidak ingin menjawabnya sekarang. Tapi simaklah cerita ini. Suatu hari, seorang staf kedutaan Indonesia di sini meninggalkan rumahnya yang telah dilengkapi ‘Armed Response’, namun pencuri berhasil masuk setelah menabrakkan mobilnya ke rumah tersebut. Alhasil, sejumlah barangnya hilang bersama perginya pencuri-pencuri itu.

Sama dengan di kota-kota besar lainnya, perampokan, pencurian, pemerkosaan terhadap perempuan dan kekerasan terhadap anak-anak, sangat tinggi di Afrika. Menurut Duta Besar Indonesia untuk Afsel, Nasier kepada saya menerangkan bahwa Afsel berada di urutan ke-9 dari 10 negara yang tertinggi tingkat kriminalitasnya. Senjata, bukan barang haram untuk dibawa kemana-kemana bila seseorang telah mengantongi izin. Dan izinnya pun tidak terlalu sulit untuk didapatkan. Melihat tingkat kriminalitas itu, tentu banyak orang yang tak ingin ke Afsel.

Tapi tidak demikian dalam kenyataannya. Ternyata, Afsel menempati urutan ke-3 dunia dalam jumlah menggaet wisatawan mancanegara. Dalam setiap tahunnya, sekitar 14-15 juta wisatawan datang ke Afsel yang berpenduduk sekitar 43 juta orang. Mereka datang dengan membawa dolar, euro, dan tidak sedikit yang membawa rupiah. Beberapa pejabat dan pengusaha di Jakarta, juga sering datang ke daerah ini, hanya untuk berburu di hutan.

Menurut Nasier, ada satu hal yang menjadi kekuatan utama dri kepariwisataan di Afsel, yakni keterpaduan semua pihak dalam menggaet wisatawan. Sebab, wisatawan yang datang tidak hanya menguntungkan pihak pengusaha, tapi juga masyarakat kecil. ‘’Turisme menggerakkan semua sektor ekonomi, baik yang besar maupun yag kecil. Dan ini merupakan salah satu cara untuk mengatasi pengangguran,’’ jelas Nasier.

Kepariwisataan yang terus berkembang ini juga didukung dari pemerintah yang mencanangkan ‘Tariklah wisatawan domestik sebagai turis’. Ini semua menambah penghasilan devisa dari negara yang beribukota di Pretoria ini. ‘’Padahal kalau mau dipikir, penghasilan dari emas, berlian, platinum, negara ini sudah kaya, tapi tetap saja pemerintah mengharapkan devisa dari pariwisata,’’ jelas Nasier. Kelebihan lain ditambahkan Konjen RI di Cape Town, Salfrida N. Ramadhan KH kepada saya. Didampingi suaminya, Ramadhan KH, Salfrida menjelaskan salah satu penyebab banyaknya wisatawan yang datang ke Afsel. Yakni, kebanggaan rakyat Afsel menjadi dirinya sendiri. ‘

Foto/Sukriansyah S Latief   

"Bila Anda datang ke suku Zulu, mereka tidak akan malu menampilkan diri apa adanya, dengan bahasa dan tradisinya. Kalau kita (Indonesia, red), biasanya malu karena dianggap kampungan. Padahal, wisatawan yang datang itu mau melihat yang aslinya, yang natural,’’ jelas Salfrida. Sama seperti dijelaskan Salfrida, Nasier juga memberikan perhatian besar terhadap travel atau biro perjalanan yang ada di Afsel. Mereka sampai memfasilitasi wisatawan yang ingin tinggal beberapa hari di rumah penduduk atau kepala suku yang didatangi.

‘’Harganya ‘melati’, tapi dikemas bintang tujuh,’’ jelas Nasier soal biaya dan pelayanan biro perjalanan di Afsel. Sebagai negara yang berada di paling Selatan benua Afrika, Afsel memang terkenal sebagai negra yang indah nan elok. Dengan iklim subtropis (kecuali wilayah Utara Transvaal), Afsel dibagi dalam 9 provinsi dan lima daearh lokal (otonomi). Bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris, tapi banyak juga yang menggunakan bahasa Afrikaans, dan Ndebele, juga Sotho. Umumnya, para wisatawan yang ke Afrika Selatan, mengunjungi Township Soweto, yakni perkampungan orang kulit hitam, juga mengunjungi waterfront, berburu di hutan. Sebagian besarnya lagi ke Cape Town, dengan Robben Islandnya, Table Mountain dan Kirstenbosch, False Bay, juga Tanjung Harapan.

Foto/Suriansyah S Latief  

Berada di ketinggian di Cape Town pada malam hari sangatlah indah bila melihat lampu-lampu kota menyala bak bintang-bintang di langit. Belum lagi museum-museum dan tempat bersejarah tepat Nelson Madela dan pejuang-pejuang Afrika Selatan di penjara. Khusus dari turis Indonesia, tentu tidak melewatkan ke makam Syekh Yusuf dan makam Tuan Guru dari Tidore, Maluku. Ada hal yang menarik soal waterfront. Dubes Nasier yang pernah ke Makassar mengusulkan agar di depan Benteng Ujungpandang, dibuat waterfront. ‘’Sayang kalau tidak ada waterfront di situ.

Tempatnya sangat bagus, saya bersedia jadi konsultannya, kalau mau,’’ kata Nasier sedikit bercanda. Kedatangan Nasier ke Makassar ketika itu, adalah untuk memantapkan acara pada bulan Maret di Cape Town, yang dijadwalkan gubernur Sulsel akan ke sana, ke makam Syekh Yusuf. ‘’Rencananya gubernur akan ke sini pada Maret nanti,’’ katanya. Jelaslah, tingkat kriminalitas yang tinggi, bukanlah halangan untuk mendatangkan wisatawan. Soal keamanan, terbukti bukan yang utama, tapi pelayanan dan fasilitaslah yang menentukan. Afrika Selatan telah membuktikannya.***

Sukriansyah S Latief adalah Wartawan Senior